Surat Bagi Haters Jokowi Bikin Baper, Waspada Kampret Bisa Jadi Cebong Setelah Baca
Judul : Surat Bagi Haters Jokowi Bikin Baper, Waspada Kampret Bisa Jadi Cebong Setelah Baca
link : Surat Bagi Haters Jokowi Bikin Baper, Waspada Kampret Bisa Jadi Cebong Setelah Baca

Infomenia.net - Yang merasa tidak nyaman dengan postingan-postingan saya yang ada Pak Jokowi-nya, monggo dilewatkan. Tombol unfollow bahkan delete, boleh sekali difungsikan.
Yang berpikir gara-gara pilihan politik yang berbeda kita sah saja bermusuhan, silakan juga. Mungkin memang bahkan udara yang kita hirup hari ini sudah dicemari kebencian sampai-sampai sebegitu cepatnya membuat dada sesak.
Begini, ya. Per tanggal hari ini, Joko Widodo itu masih Presiden resmi negara yang kita tinggali bersama ini. Bangga sama pemimpin sendiri, ndak boleh ya? Tapi dia ingkar janji, tapi dia begini begitu. Lha itu kan dalam persepsimu, lewat sudut pandangmu. Dari sudut pandang saya tukang kue ini, dia pemimpin yang telah membawa manfaat lebih banyak ketimbang mudharat. Menurut saya, lho, jadi ndak usah keburu kesal. Suara saya toh tidak mewakili kaum mana pun, ini kesimpulan dan pendapat saya sendiri.
Dan siapa tuh yang belum apa-apa sudah menyayangkan saya memilih Jokowi di pilpres 2019 nanti? Kok tahu banget kamu, kaki saya bakal sampai ke tps dan ikut mencoblos? Saya sudah lama sekali tidak menggunakan hak pilih sebagai warga negara, pemilu terakhir saya juga ndak ikut mencoblos tuh. Besok saja saya belum tahu bakal seperti apa, apalagi April 2019 nanti. Kalau kalian mau tahu sesuatu yang pasti (insya Allah) harga sultana dkk masih akan sama sepanjang tahun 2019. Tanpa kenaikan, nah yang ini boleh tagih kalau saya ingkar.
Mengapa saya sesekali 'melenceng' menulis soal pemimpin yang ndak kamu suka? Sebab ada hal-hal baik yang suka tidak suka, mau tidak mau harus kita akui soal lelaki ini. Dan hal baik wajib kita bagikan demi melengkapkan fungsi habluminannas kita di dunia. Kesederhanaan beliau yang bersahaja, potret keluarga yang kompak dan ndak usah ngeles kalau kalian tidak mendambakan anak-anak kalian tumbuh besar bertanggung jawab bukan dari mendompleng nama besar orang tuanya. Kerja-kerjanya banyak yang nyata, pembangunan infrastruktur yang dipercepat cukup memudahkan kegiatan-kegiatan masyarakat.
Entahkah ucapan dan bahasa tubuh orang nomor satu di Indonesia itu memang dirancang sebelumnya untuk mengesankan rakyat, saya tetap merasa itu sesuatu yang meninggalkan jejak tersendiri di kepala generasi muda kita. Bahwa dengan yang tua kita selayaknya hormat. Dengan yang berbeda pendapat kita tetap berkawan. Dengan yang menghina, kita tak selalu perlu membalas.
Tapi kekurangannya banyak, bla bla bla... Serius sekali kalian ini mengejar kesempurnaan ya, saya kira cuma saya seorang tukang kue yang gila mencapai hasil sempurna. Kan ada tuh anjuran, jika bimbang atas sesuatu perkara, timbang lebih banyak mana manfaat atau mudharatnya. Nah silakan kalian rasa-rasa dulu, apa hidup kalian hari ini benar melarat seperti yang kalian keluhkan, benar kalian berat bayar listrik dan beli bensin, apa yakin dollar naik itu memang signifikan pengaruhnya pada bisnis yang kalian kelola? Atau yang kabar tentang 'katanya ini' dan 'katanya itu' cuma kalian dapat dari umpatan seseorang yang sakit hati lantas pindah dari mulut ke mulut, diberi bumbu lebih dahsyat dari efek micin, dan kemudian sah diklaim sebagai penderitaan ummat?
Kalian benar serius ingin balik di jaman sebelum masa reformasi? Serius kalian yang dulu mengangkat kepalan tangan kuat-kuat di udara minta Suharto mundur dari jabatannya, kini justru begitu merindukan sosoknya kembali memimpin? Kalian yakin bisa berkoar-koar sekencang di jaman ini, menghina dan berdemo lalu besoknya bangun di tempat yang sama dalam keadaan sehat wal-afiat? Bukan tinggal nama dan kenangan? Kalian ndak senep membayangkan berapa turunan eyang Harto membekali keluarganya hidup dalam kemapanan yang paripurna dari hasil 32 tahun memimpin negeri yang konon kaya raya ini sementara kalian yang selama ini gigih bekerja keras, untuk bayar cicilan satu mobil saja masih sering megap-megap?
Seandainya mengeluh dan bersumpah serapah itu bisa bikin duit jatuh dari langit, yah?
Saya sendiri ndak pernah serius mempertimbangkan isu PKI, antek aseng (bukan karena saya Cina, ya), ibu kandungnya gak jelas, Islamnya gak kaffah, dll sebagainya. Kualitas pikiran seseorang itu mencerminkan dirinya sendiri, itu saja sih. Walaupun saya manusia biasa seperti lainnya yang punya kerisauan dan keinginan untuk waspada, saya tetap berpegang teguh pada; sesuatu itu baru boleh dikatakan benar jika jelas ada buktinya. Kalau cuma memamah biak hasutan-hasutan dan kabar bohong (hoax) lalu mengembangbiakkannya menjadi prasangka dan tuduhan serius, ya memang mudah saja.
Tapi pernahkah kalian berpikir jernih sejenak, penderitaan semacam apakah yang sudah kalian terima dan rasakan sampai-sampai seorang Jokowi harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi dalam hidup kalian dan kalian bebas memberi cap dan hinaan sedemikian rupa?
Jangan cuma selalu siap menjemput surga, dong. Siapkan diri juga, jangan sampai prasangka kalian mengantarkan kalian berbalik meninggalkan surga.
Kemarahan kalian terkesan terlalu dibuat-buat. Kadang sampai lupa siapa diri kalian, nama baik semacam apa yang kalian bawa, siapa kawan dan saudara yang kalian ajak berdebat dan akhirnya kalian pisuhi dengan bangganya. Ngerinya saya, setiap kali menemukan perempuan-perempuan berkerudung yang bicara tanpa etika kesopanan sama sekali. Laki-laki yang saya tahu punya jabatan dan latar belakang pendidikan hebat, bicara berbusa-busa layaknya orang mabuk. Sampai saya pernah berpikir, mulutlah sesungguhnya aurat yang paling harus kita jaga. Jika salah berbicara, kita bagai menelanjangi diri sendiri.
Dan, sekadar mengingatkan, tak usahlah lagi mengajak perang ayat suci dengan orang yang jelas-jelas seiman dengan dirimu. Malu, Bang, Mas, Mbak, Ukhti... Saya kenal beberapa sosok yang jelas-jelas tawadhu, tapi benar-benar berhati-hati dan memilih-milih momen di mana mereka menautkan sebuah ayat atau hadits sebagai pelengkap. Perlu banget, istilahnya, baru mereka keluarkan ilmu mereka. Bukan dihambur-hamburkan ke udara bak kembang api, meledak-ledak berwarna-warni tapi nanti bekasnya hanya serupa asap yang seketika lenyap.
Kalian benar mau melihat Islam tegak dan mulia, tetap berjaya hingga akhir jaman?
Mari mencoba dulu meniru dan meneladani akhlak Rasulullah. Sudah ada sepertiganya yang kalian bisa praktekkan? Adakah beliau menyerukan memaki dan menghina? Berprasangka dan menistakan orang lain?
Bayangkan Rasulullah ada di hadapan kalian saat ini juga menghadapi kalian yang tampak seakan-akan sudah sangat siap berperang... Kira-kira Beliau tersenyum senang atau malah menangisi ulah kalian?
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah
Seandainya mengeluh dan bersumpah serapah itu bisa bikin duit jatuh dari langit, yah?
Saya sendiri ndak pernah serius mempertimbangkan isu PKI, antek aseng (bukan karena saya Cina, ya), ibu kandungnya gak jelas, Islamnya gak kaffah, dll sebagainya. Kualitas pikiran seseorang itu mencerminkan dirinya sendiri, itu saja sih. Walaupun saya manusia biasa seperti lainnya yang punya kerisauan dan keinginan untuk waspada, saya tetap berpegang teguh pada; sesuatu itu baru boleh dikatakan benar jika jelas ada buktinya. Kalau cuma memamah biak hasutan-hasutan dan kabar bohong (hoax) lalu mengembangbiakkannya menjadi prasangka dan tuduhan serius, ya memang mudah saja.
Tapi pernahkah kalian berpikir jernih sejenak, penderitaan semacam apakah yang sudah kalian terima dan rasakan sampai-sampai seorang Jokowi harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi dalam hidup kalian dan kalian bebas memberi cap dan hinaan sedemikian rupa?
Jangan cuma selalu siap menjemput surga, dong. Siapkan diri juga, jangan sampai prasangka kalian mengantarkan kalian berbalik meninggalkan surga.
Kemarahan kalian terkesan terlalu dibuat-buat. Kadang sampai lupa siapa diri kalian, nama baik semacam apa yang kalian bawa, siapa kawan dan saudara yang kalian ajak berdebat dan akhirnya kalian pisuhi dengan bangganya. Ngerinya saya, setiap kali menemukan perempuan-perempuan berkerudung yang bicara tanpa etika kesopanan sama sekali. Laki-laki yang saya tahu punya jabatan dan latar belakang pendidikan hebat, bicara berbusa-busa layaknya orang mabuk. Sampai saya pernah berpikir, mulutlah sesungguhnya aurat yang paling harus kita jaga. Jika salah berbicara, kita bagai menelanjangi diri sendiri.
Dan, sekadar mengingatkan, tak usahlah lagi mengajak perang ayat suci dengan orang yang jelas-jelas seiman dengan dirimu. Malu, Bang, Mas, Mbak, Ukhti... Saya kenal beberapa sosok yang jelas-jelas tawadhu, tapi benar-benar berhati-hati dan memilih-milih momen di mana mereka menautkan sebuah ayat atau hadits sebagai pelengkap. Perlu banget, istilahnya, baru mereka keluarkan ilmu mereka. Bukan dihambur-hamburkan ke udara bak kembang api, meledak-ledak berwarna-warni tapi nanti bekasnya hanya serupa asap yang seketika lenyap.
Kalian benar mau melihat Islam tegak dan mulia, tetap berjaya hingga akhir jaman?
Mari mencoba dulu meniru dan meneladani akhlak Rasulullah. Sudah ada sepertiganya yang kalian bisa praktekkan? Adakah beliau menyerukan memaki dan menghina? Berprasangka dan menistakan orang lain?
Bayangkan Rasulullah ada di hadapan kalian saat ini juga menghadapi kalian yang tampak seakan-akan sudah sangat siap berperang... Kira-kira Beliau tersenyum senang atau malah menangisi ulah kalian?
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah
Kalian benar serius ingin balik di jaman sebelum masa reformasi? Serius kalian yang dulu mengangkat kepalan tangan kuat-kuat di udara minta Suharto mundur dari jabatannya, kini justru begitu merindukan sosoknya kembali memimpin? Kalian yakin bisa berkoar-koar sekencang di jaman ini, menghina dan berdemo lalu besoknya bangun di tempat yang sama dalam keadaan sehat wal-afiat? Bukan tinggal nama dan kenangan? Kalian ndak senep membayangkan berapa turunan eyang Harto membekali keluarganya hidup dalam kemapanan yang paripurna dari hasil 32 tahun memimpin negeri yang konon kaya raya ini sementara kalian yang selama ini gigih bekerja keras, untuk bayar cicilan satu mobil saja masih sering megap-megap?
Seandainya mengeluh dan bersumpah serapah itu bisa bikin duit jatuh dari langit, yah?
Saya sendiri ndak pernah serius mempertimbangkan isu PKI, antek aseng (bukan karena saya Cina, ya), ibu kandungnya gak jelas, Islamnya gak kaffah, dll sebagainya. Kualitas pikiran seseorang itu mencerminkan dirinya sendiri, itu saja sih. Walaupun saya manusia biasa seperti lainnya yang punya kerisauan dan keinginan untuk waspada, saya tetap berpegang teguh pada; sesuatu itu baru boleh dikatakan benar jika jelas ada buktinya. Kalau cuma memamah biak hasutan-hasutan dan kabar bohong (hoax) lalu mengembangbiakkannya menjadi prasangka dan tuduhan serius, ya memang mudah saja.
Tapi pernahkah kalian berpikir jernih sejenak, penderitaan semacam apakah yang sudah kalian terima dan rasakan sampai-sampai seorang Jokowi harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi dalam hidup kalian dan kalian bebas memberi cap dan hinaan sedemikian rupa?
Jangan cuma selalu siap menjemput surga, dong. Siapkan diri juga, jangan sampai prasangka kalian mengantarkan kalian berbalik meninggalkan surga.
Kemarahan kalian terkesan terlalu dibuat-buat. Kadang sampai lupa siapa diri kalian, nama baik semacam apa yang kalian bawa, siapa kawan dan saudara yang kalian ajak berdebat dan akhirnya kalian pisuhi dengan bangganya. Ngerinya saya, setiap kali menemukan perempuan-perempuan berkerudung yang bicara tanpa etika kesopanan sama sekali. Laki-laki yang saya tahu punya jabatan dan latar belakang pendidikan hebat, bicara berbusa-busa layaknya orang mabuk. Sampai saya pernah berpikir, mulutlah sesungguhnya aurat yang paling harus kita jaga. Jika salah berbicara, kita bagai menelanjangi diri sendiri.
Dan, sekadar mengingatkan, tak usahlah lagi mengajak perang ayat suci dengan orang yang jelas-jelas seiman dengan dirimu. Malu, Bang, Mas, Mbak, Ukhti... Saya kenal beberapa sosok yang jelas-jelas tawadhu, tapi benar-benar berhati-hati dan memilih-milih momen di mana mereka menautkan sebuah ayat atau hadits sebagai pelengkap. Perlu banget, istilahnya, baru mereka keluarkan ilmu mereka. Bukan dihambur-hamburkan ke udara bak kembang api, meledak-ledak berwarna-warni tapi nanti bekasnya hanya serupa asap yang seketika lenyap.
Kalian benar mau melihat Islam tegak dan mulia, tetap berjaya hingga akhir jaman?
Mari mencoba dulu meniru dan meneladani akhlak Rasulullah. Sudah ada sepertiganya yang kalian bisa praktekkan? Adakah beliau menyerukan memaki dan menghina? Berprasangka dan menistakan orang lain?
Bayangkan Rasulullah ada di hadapan kalian saat ini juga menghadapi kalian yang tampak seakan-akan sudah sangat siap berperang... Kira-kira Beliau tersenyum senang atau malah menangisi ulah kalian?
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah
Seandainya mengeluh dan bersumpah serapah itu bisa bikin duit jatuh dari langit, yah?
Saya sendiri ndak pernah serius mempertimbangkan isu PKI, antek aseng (bukan karena saya Cina, ya), ibu kandungnya gak jelas, Islamnya gak kaffah, dll sebagainya. Kualitas pikiran seseorang itu mencerminkan dirinya sendiri, itu saja sih. Walaupun saya manusia biasa seperti lainnya yang punya kerisauan dan keinginan untuk waspada, saya tetap berpegang teguh pada; sesuatu itu baru boleh dikatakan benar jika jelas ada buktinya. Kalau cuma memamah biak hasutan-hasutan dan kabar bohong (hoax) lalu mengembangbiakkannya menjadi prasangka dan tuduhan serius, ya memang mudah saja.
Tapi pernahkah kalian berpikir jernih sejenak, penderitaan semacam apakah yang sudah kalian terima dan rasakan sampai-sampai seorang Jokowi harus bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi dalam hidup kalian dan kalian bebas memberi cap dan hinaan sedemikian rupa?
Jangan cuma selalu siap menjemput surga, dong. Siapkan diri juga, jangan sampai prasangka kalian mengantarkan kalian berbalik meninggalkan surga.
Kemarahan kalian terkesan terlalu dibuat-buat. Kadang sampai lupa siapa diri kalian, nama baik semacam apa yang kalian bawa, siapa kawan dan saudara yang kalian ajak berdebat dan akhirnya kalian pisuhi dengan bangganya. Ngerinya saya, setiap kali menemukan perempuan-perempuan berkerudung yang bicara tanpa etika kesopanan sama sekali. Laki-laki yang saya tahu punya jabatan dan latar belakang pendidikan hebat, bicara berbusa-busa layaknya orang mabuk. Sampai saya pernah berpikir, mulutlah sesungguhnya aurat yang paling harus kita jaga. Jika salah berbicara, kita bagai menelanjangi diri sendiri.
Dan, sekadar mengingatkan, tak usahlah lagi mengajak perang ayat suci dengan orang yang jelas-jelas seiman dengan dirimu. Malu, Bang, Mas, Mbak, Ukhti... Saya kenal beberapa sosok yang jelas-jelas tawadhu, tapi benar-benar berhati-hati dan memilih-milih momen di mana mereka menautkan sebuah ayat atau hadits sebagai pelengkap. Perlu banget, istilahnya, baru mereka keluarkan ilmu mereka. Bukan dihambur-hamburkan ke udara bak kembang api, meledak-ledak berwarna-warni tapi nanti bekasnya hanya serupa asap yang seketika lenyap.
Kalian benar mau melihat Islam tegak dan mulia, tetap berjaya hingga akhir jaman?
Mari mencoba dulu meniru dan meneladani akhlak Rasulullah. Sudah ada sepertiganya yang kalian bisa praktekkan? Adakah beliau menyerukan memaki dan menghina? Berprasangka dan menistakan orang lain?
Bayangkan Rasulullah ada di hadapan kalian saat ini juga menghadapi kalian yang tampak seakan-akan sudah sangat siap berperang... Kira-kira Beliau tersenyum senang atau malah menangisi ulah kalian?
Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah
Oke sob cukup yah untuk informasi Surat Bagi Haters Jokowi Bikin Baper, Waspada Kampret Bisa Jadi Cebong Setelah Baca kali ini, semoga bisa menjadikan informasi bermanfaat ya sob., Baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Kamu membaca Surat Bagi Haters Jokowi Bikin Baper, Waspada Kampret Bisa Jadi Cebong Setelah Baca, dengan alamat https://enjebatik.blogspot.com/2019/01/surat-bagi-haters-jokowi-bikin-baper.html